Fitnah Rasa Rempah
Bagian 1: Latar Belakang
Di sebuah kota kecil yang ramai oleh aroma wajan dan suara centang-centing sendok di piring, berdirilah sebuah rumah makan bernama "Sambal Lupa Diri", milik Pak Marwan. Dulu, warungnya selalu ramai. Sambalnya pedas, nasinya pulen, dan ayam gorengnya bikin orang lupa pulang.
Namun seiring waktu, makin banyak pesaing bermunculan. Ada "Ayam Gacor", "Nasi Pedas Nyai", sampai "Warung Syahdu"—yang selain makan bisa karaoke.
Pak Marwan mulai cemas.
"Kalau pelanggan terus lari, saya bisa balik jualan pulsa, Wan," gumamnya sambil menatap meja kosong.
"Atau buka jasa curhat berbayar," sahut asistennya, Darto, setengah bercanda.
"Lebih baik kita bikin mereka bangkrut duluan!" seru Marwan dengan mata menyala-nyala.
Dan dari situlah semua dimulai.
Bagian 2: Strategi Licik
Pak Marwan menyusun strategi. Ia membuat akun palsu bernama @PelangganTerluka, @SambalBasi, dan @PerutMenangis. Isinya? Ulasan buruk tentang pesaingnya.
"Di Ayam Gacor, ayamnya keras kayak dendam mantan."
"Nasi Pedas Nyai? Bukan pedas, itu trauma."
Tak hanya itu, dia menyewa dua orang pengangguran untuk duduk di warung saingan dan pura-pura keracunan.
"Bang, pura-puranya aja ya... muntahnya jangan kena meja," bisik Marwan.
"Beres, Bang. Mau pakai acting gaya Korea apa sinetron Indosiar?"
Semua tampak berjalan sesuai rencana. Pelanggan mulai curiga terhadap pesaing, beberapa bahkan pindah ke warung Marwan. Ia tertawa puas.
"Persaingan ini soal strategi, bukan rasa!" ujarnya pongah.
Darto hanya menggeleng pelan.
"Kalau rasa kalah, ya minimal punya hati, Pak..."
Bagian 3: Lupa Diri
Saking sibuknya menyerang, Marwan lupa hal yang paling penting: warungnya sendiri.
Pelayanan makin lambat, sambalnya kadang asin, kadang kayak air mata. Pelanggan mulai kecewa.
"Mas, ini ayamnya dingin."
"Itu ayamnya belum move on, Bu."
Ulasan buruk mulai datang—bukan yang dibuat-buat, tapi asli dari pelanggan.
“Nasi keras, ayam alot, pelayanan ketus. Mending masak sendiri.”
Tapi Marwan bukannya introspeksi, malah makin gila: menyebar rumor kalau pesaingnya pakai jin, ayam hasil doping, bahkan nasi oplosan.
"Pak, kalau terus begini, kita yang malah dioplos sama nasib," celetuk Darto sinis.
Namun Marwan tak mendengar. Usahanya terus merosot. Pelanggan yang terpengaruh fitnah malah berpindah ke pesaing lainnya yang jujur dan fokus pada kualitas.
Sampai akhirnya, warungnya tutup. Meja-meja berdebu, wajan kosong, dan hanya tersisa satu panci kenangan.
Bagian 4: Penutup
Di tengah kesepian warung yang ditinggal pelanggan, Marwan duduk termenung.
"Semua udah kujalani... semua udah kulakukan..."
Dia menghela napas. "Tapi kenapa tetap gagal?"
Darto, yang kini bekerja di "Ayam Gacor" sebagai supervisor, sesekali datang menjenguk.
"Pak, warung bukan soal menjatuhkan orang lain... tapi soal bikin orang mau datang lagi besok. Pelanggan itu pintar, Pak. Nggak selamanya bisa dibohongi."
Marwan tersenyum pahit.
"Dan saya sibuk menanam kebencian, lupa menyiram pelayanan..."
Kini, warung "Sambal Lupa Diri" hanya tinggal papan nama berdebu. Dan fitnah, seperti garam berlebih, akhirnya membuat masakan hidupnya hambar.
Hikmah:
Fitnah mungkin bisa menjatuhkan orang lain. Tapi tidak akan pernah bisa membuatmu lebih tinggi—apalagi jika lupa memperbaiki diri.