Kuda Kayu di Pojok Ruang Tamu

Di pojok ruang tamu yang mulai berdebu, berdiri sebuah kuda kayu tua. Warnanya sudah pudar, tapi ukirannya masih utuh.. lengkungan lembut pada pelana, roda kayu kecil di kakinya, dan sebuah stiker berbentuk bintang di pipinya. Mainan itu dulu milik Raka, putra semata wayang Pak Bram dan Bu Ningsih.

Dulu, setiap pagi rumah itu riuh oleh suara derit roda kuda kayu dan tawa renyah Raka yang pura-pura menjadi koboi. Tapi sejak Raka pergi karena demam berdarah yang telat tertangani, rumah itu lebih mirip museum kenangan.. hening, dingin, dan penuh benda yang tak lagi dimainkan.

Bu Ningsih setiap hari membersihkan kuda kayu itu. Kadang ia duduk di lantai, memeluknya sambil berbisik, “Ibu bersih-bersih dulu ya, Nak... Biar kamu bisa main lagi kalau pulang.” Ia tahu Raka tak akan kembali, tapi hatinya belum siap untuk melepaskan.

Pak Bram hanya bisa melihat dari jauh. Setiap malam, ia mendengar istrinya menangis diam-diam sambil menggenggam roda mainan itu. Dan setiap pagi, ia melihat matanya semakin sayu, semakin jauh.

Akhirnya, suatu hari ia bicara pelan, “Ning... bagaimana kalau kuda kayunya kita simpan di tempat lain dulu?”

Bu Ningsih menggeleng keras. “Jangan. Itu satu-satunya yang tersisa.”

Pak Bram tak berkata apa-apa. Tapi malam itu, saat istrinya tertidur, ia membungkus kuda kayu dengan kain batik, lalu membawanya ke pasar loak.

Pedagang tua di sana bertanya, “Mas, yakin mau jual ini? Ini bukan sekadar mainan.”

Pak Bram menahan napas. “Saya tahu. Tapi saya lebih takut kehilangan istri saya... daripada kenangan anak saya.”

Ia tak menawar harga. Ia hanya berjalan pulang, membawa pulang kehampaan. Tapi di hatinya, ia tahu: cinta kadang bukan soal memiliki, tapi soal berani melepaskan, agar yang kita cintai bisa tetap bertahan.

Keesokan harinya, Bu Ningsih terdiam saat melihat sudut ruang tamu kosong.

Ia menangis.

Lalu, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia keluar ke halaman. Menyiram bunga. Menatap langit. Dan berkata lirih, “Nak, ibu belajar mengikhlaskan ya... Tapi bukan berarti ibu melupakan.”


Hikmah:
Melepas bukan berarti melupakan. Kadang, justru dengan melepaskan, kita belajar mencintai dengan cara yang lebih damai.