Lelaki yang Tak Pernah Berkata Buruk


Di sebuah desa kecil di lereng pegunungan, hiduplah seorang lelaki bernama Pak Jaya. Usianya menjelang kepala lima, wajahnya bersahaja, senyumnya selalu hadir seolah tak pernah lelah. Tapi yang paling diingat orang tentang Pak Jaya adalah satu hal: ia tak pernah berbicara buruk tentang siapa pun.

Entah sedang berbicara soal tetangga, pemerintah desa, bahkan tentang harga cabai yang melambung, Pak Jaya selalu punya cara ajaib membuat segala hal terdengar seperti berkah yang sedang menyamar.

“Cabai naik, alhamdulillah. Petani kita pasti senang,” katanya sambil menata sayuran di warung kecilnya.

Teman-temannya kadang heran, kadang kesal. “Masak nggak pernah marah, Pak? Nggak pernah ngomong jelek tentang siapa pun?”

Pak Jaya hanya tertawa. “Ngomong baik-baik itu seperti menanam bunga di hati sendiri. Yang harum bukan orang lain, tapi kita sendiri.”

Tapi tak semua orang menyukai keheningan dan kebaikannya. Ada saja yang menggunjing, menuduhnya sok suci, bahkan menyebar gosip bahwa ia munafik, pura-pura alim demi disukai orang.

Suatu hari, seorang pemuda nekat bertanya, “Pak Jaya, bapak tahu nggak siapa yang sering ngomongin bapak dari belakang?”

Pak Jaya tersenyum. “Tahu.”

Pemuda itu terkejut. “Terus, kenapa nggak marah?”

Pak Jaya menatap langit. “Karena mungkin itu caranya mereka menyembuhkan luka mereka sendiri. Kalau saya balas dengan buruk, apa bedanya saya dengan mereka?”

Pemuda itu terdiam. Kata-kata itu melekat di kepalanya seperti ukiran di kayu jati.

Anehnya, semakin banyak orang membicarakan Pak Jaya, semakin banyak pula orang baik yang datang berteman dengannya. Anak muda sering duduk di warungnya, sekadar minta nasihat atau mendengarkan kisah bijaknya. Para ibu sering titip doa lewat beliau. Dan para tetua desa selalu menunjuknya jadi penengah jika ada konflik.

Lidahnya seperti mata air—tak pernah kering dari doa dan harapan baik. Bahkan ketika tubuhnya mulai lemah, suara lembutnya tetap menyemai benih kebaikan.

Hingga suatu hari, saat langit desa bersih seperti baru disapu, Pak Jaya pergi dalam tidur. Tenang. Damai. Seperti ucapannya semasa hidup.

Di batu nisan sederhana itu, tertulis pesan yang jadi pengingat siapa pun yang membaca:

“Kata adalah doa. Maka jangan lupa menanam bunga di setiap kalimatmu.”


Hikmah:
Ucapan adalah cermin hati. Dan doa terbaik seringkali tersembunyi dalam kata yang sederhana, tapi diucapkan dengan ketulusan. Kadang, kebaikan tak perlu dijelaskan—cukup ditunjukkan.