Payung di Bawah Pohon Mangga

 


Hari itu, di desa Karangjati, hujan turun sejak subuh. Bukan gerimis manja, tapi hujan deras yang membuat genting bocor seperti air terjun mini. 

Saat hujan mulai mereda, seorang anak perempuan bernama Intan duduk sendirian di bawah pohon mangga besar dekat warung Mak Ipah. Di tangannya, sebuah payung rusak ia peluk seperti boneka.

Dia bukan sedang menunggu jemputan, bukan pula berteduh dari hujan. Dia sedang menunggu waktu.

Beberapa pedagang pasar yang lewat bertanya,
“Ngapain, Neng, duduk di situ?”
“Lagi jagain tempat, Bu,” jawabnya pendek.

Ternyata, setiap pagi sejak sebulan terakhir, Intan duduk di sana demi bisa meminjam jaringan WiFi dari warung kopi tua di seberang jalan—warung yang nyalain WiFi-nya cuma dari jam tujuh sampai sembilan pagi.

Intan butuh sinyal itu untuk mengerjakan tugas daring dari sekolah. Ibunya jual gorengan, ayahnya sudah lama menghilang entah ke mana. HP-nya pinjaman dari tetangganya yang baik hati, tapi jaringan di rumahnya sering hilang-timbul kayak mantan PHP.

Satu pagi, Pak Herman—kepala dusun—melintas dan melihat Intan menggigil sambil mencatat sesuatu di buku tulis yang sedikit basah.

“Ngapain di sini, Dek?”
“Belajar, Pak. Nggak bisa konek di rumah.”
“Kenapa nggak bilang ke guru?”
“Takut disangka malas, Pak. Intan nggak mau dimarahin.”

Pak Herman terdiam. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia jalan ke arah warung kopi, ngobrol sebentar dengan pemiliknya, dan esok harinya... sebuah kabar menyebar ke seluruh desa:

“Internet Gratis di Balai Dusun, untuk Semua Anak Sekolah.”

Bukan hanya itu. Dari hasil patungan warga, dibelikan modem WiFi baru, tikar untuk lesehan, bahkan camilan ringan setiap pagi. Anak-anak dari seluruh desa mulai belajar bersama di sana. Intan tak lagi duduk basah kuyup di bawah pohon mangga, tapi menjadi inspirasi bagi satu dusun untuk peduli.

“Bisa jadi, satu anak kecil dengan payung bolong mengubah seluruh desa,” kata Mak Ipah bangga.

Catatan:
Cerita ini adalah cerita fiksi yang diadaptasi dari kisah nyata.
Kisah nyatanya datang dari berbagai daerah di Indonesia saat pandemi, di mana banyak anak-anak harus belajar daring namun tidak punya fasilitas internet. Salah satu kisah viral adalah tentang seorang anak perempuan di Makassar yang duduk berjam-jam di depan minimarket hanya demi menangkap sinyal WiFi untuk mengerjakan tugas. Kisah ini memicu banyak inisiatif dari masyarakat untuk membuat "posko belajar" atau "WiFi gratis" untuk pelajar di pelosok.