Sebuah Ruang Kosong - Cerpen

 


Bab 1: Masa Lalu yang Hilang di Balik Kesuksesan

Langit senja membentang di jendela ruang kantor itu, memantulkan siluet seorang pria yang tengah berdiri diam, menatap kota dari balik kaca tebal. Rio Adrian, seorang pria berusia tiga puluh lima tahun, berdiri dengan tangan di saku, matanya kosong. Cahaya dari gedung-gedung pencakar langit memantul di iris matanya yang tajam, seolah berusaha mengingat sesuatu yang samar, sesuatu yang selalu terasa dekat, tapi tak pernah bisa dia gapai.

Rio adalah seorang pengusaha sukses. Pemilik sebuah perusahaan jasa ternama yang dibangunnya dari nol setelah dia sadar dari koma beberapa tahun lalu. Itu adalah kisah yang mengagumkan—seorang pria yang bangkit dari keterpurukan, menggunakan warisan orang tuanya untuk membangun bisnisnya hingga mencapai puncak.

Tapi di balik kejayaan itu, ada sesuatu yang hilang. Sebuah ruang kosong dalam pikirannya yang tak pernah bisa ia isi.

Jejak yang Tak Pernah Bisa Diingat

Rio bukan pria yang lahir dalam kemewahan. Semua yang dia miliki saat ini didapat dengan darah dan keringat. Dia pernah merasakan pahitnya kebangkrutan, ditipu oleh rekan bisnis yang dipercayainya, dan bekerja siang-malam tanpa kenal lelah. Semua itu dia jalani dengan satu tujuan: membangun kembali hidupnya yang seolah dimulai dari nol.

Namun, ada saat-saat tertentu di mana dia terbangun di tengah malam dengan napas memburu. Bukan karena mimpi buruk, tapi karena sesuatu yang lebih mengganggu: perasaan bahwa dia telah melupakan sesuatu yang sangat penting.

Sebuah suara. Sebuah tawa kecil. Sebuah kehangatan yang seharusnya dia ingat.

Tapi tidak ada apa pun. Hanya kekosongan.

Sherly, Cahaya di Tengah Kegelapan

Di tengah semua kesibukannya, ada seseorang yang selalu berada di sisinya. Sherly. Seorang dokter spesialis yang elegan, cerdas, dan berdedikasi tinggi pada pekerjaannya. Wanita yang telah menjadi tunangannya.

Mereka bertemu ketika Rio masih dalam masa pemulihan. Awalnya, Sherly hanyalah dokter yang mengawasi kesehatannya. Tapi seiring waktu, hubungan mereka berkembang. Sherly bukan hanya sekadar wanita pendamping—dia adalah kekuatan yang menjaga Rio tetap berdiri tegak. Dia yang memastikan Rio tidak jatuh dalam kehampaan yang terus menghantuinya.

Sherly mencintai Rio. Itu terlihat dari caranya menggenggam tangannya saat pria itu terdiam terlalu lama. Dari tatapannya yang selalu meneliti wajah Rio, seolah mencari sesuatu yang tidak bisa dia katakan.

Namun, ada sesuatu yang tidak Rio sadari. Sherly menyimpan rahasia.

Dan rahasia itu lebih dalam dari yang bisa Rio bayangkan.

Kehidupan yang Tampak Sempurna

Dari luar, hidup Rio tampak sempurna. Bisnis sukses. Tunangan yang luar biasa. Masa depan yang sudah direncanakan dengan baik.

Tapi di balik setiap senyum dan canda tawa, ada sesuatu yang tetap salah.

Sebuah pertanyaan yang tak pernah mendapatkan jawaban.

Apa yang sebenarnya hilang dalam hidupnya?

Dan lebih penting lagi…

Kenapa dia merasa seolah seseorang, di suatu tempat, sedang menunggunya untuk mengingat?

Bab 2: Tunangan yang Sempurna

Sherly duduk di sebuah ruangan remang-remang, jemarinya yang ramping menggenggam cangkir porselen berisi teh hangat. Uap tipis mengepul ke udara, mengisi ruangan dengan aroma melati yang samar. Di hadapannya, seorang pria tua duduk diam, memperhatikannya dengan tatapan tajam di balik kacamata tipis.

“Aku ingin membuktikan bahwa cinta bisa didapat dan diusahakan,” kata Sherly akhirnya, suaranya tenang, namun penuh keyakinan.

Pria itu tidak segera menjawab. Hanya menatapnya, seolah menimbang setiap kata yang baru saja keluar dari bibirnya.

Sherly tidak goyah. Dia tahu apa yang dia inginkan. Dia menginginkan Rio.

Kesempurnaan yang Dirancang

Di mata banyak orang, Sherly adalah gambaran wanita sempurna. Cerdas, anggun, dan penuh dedikasi. Sebagai seorang dokter spesialis, dia telah menyelamatkan banyak nyawa. Tapi ironisnya, ada satu hal yang selalu gagal dia kuasai sepenuhnya: hati Rio.

Ketika Rio bangun dari koma, dia adalah orang pertama yang berada di sisinya. Dia merawat pria itu, mengawasi setiap perkembangan kesehatannya, memastikan bahwa Rio tidak hanya pulih secara fisik, tetapi juga menemukan kembali kehidupannya.

Seharusnya, dengan semua yang telah dia lakukan, Rio akan jatuh cinta padanya.

Dan memang, di permukaan, segalanya tampak berjalan seperti yang dia harapkan. Mereka bertunangan. Semua orang menganggap mereka pasangan sempurna.

Tapi Sherly tahu lebih dari siapa pun… Rio tidak pernah benar-benar sepenuhnya miliknya.

Ada sesuatu yang selalu menghalangi pria itu untuk benar-benar menyerahkan hatinya. Sebuah bayangan samar dari sesuatu yang bahkan Rio sendiri tidak bisa ingat.

Sherly membenci itu.

Janji yang Dipegang Erat

“Apa kau yakin dengan jalan yang kau pilih?” tanya pria di hadapannya.

Sherly tersenyum kecil. “Aku tidak percaya pada takdir. Aku percaya pada usaha.”

Pria itu menghela napas pelan. “Kadang, tidak peduli seberapa besar kau berusaha, ada hal-hal yang memang sudah ditentukan sejak awal.”

Sherly menggeleng. “Aku tidak percaya itu.”

Pria itu terdiam beberapa saat, lalu akhirnya berkata dengan nada pelan, nyaris seperti bisikan. “Kau hanya aku tugaskan untuk mengawasi dan menjaganya… bukan untuk terlibat perasaan dengannya.”

Tatapan Sherly berubah. Seketika, ruangan yang semula terasa tenang berubah menjadi dingin.

“Aku tahu tugas utamaku,” jawabnya, suaranya lebih tajam dari sebelumnya. “Tapi aku juga tahu bahwa aku berhak memperjuangkan perasaanku sendiri.”

Keheningan kembali mengisi ruangan. Pria itu tidak membantahnya lagi. Dia hanya menatapnya lama, sebelum akhirnya bangkit berdiri.

Sherly tetap diam di tempatnya, menunggu.

Saat pria itu mencapai pintu, dia berhenti sejenak dan berbisik tanpa menoleh.

“Hati-hati, Sherly… Ada batas yang tidak seharusnya kau langkahi.”

Kemudian, dia menghilang ke dalam bayangan.

Sherly menghela napas panjang, menggenggam cangkir teh yang kini mulai mendingin.

Batas?

Siapa yang menentukan batas itu?

Sherly tidak peduli. Dia telah bekerja terlalu keras untuk sampai di titik ini. Rio adalah miliknya. Dia hanya perlu sedikit lagi untuk memastikan bahwa pria itu tidak akan pernah berpaling.

Tidak peduli pada siapa pun…

Atau apapun… yang berusaha menghalanginya.

Bab 3: Mimpi Buruk Rio

Rio bukannya tidak menyayangi Sherly.

Hanya orang gila yang tidak menyukai wanita seperti Sherly—elegan, pintar, penuh dedikasi. Dia selalu ada di sisinya, tidak hanya sebagai tunangan, tapi juga sebagai penyelamat yang membantunya membangun kembali hidupnya dari nol.

Maka, seharusnya…

Seharusnya dia mencintainya.

Namun, entah kenapa, rasa sayang itu terasa dangkal. Seperti simpati yang tumbuh karena kebersamaan yang lama, bukan cinta yang lahir dari dalam.

Dan entah mengapa, rasa itu semakin meredup setiap kali dia bangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi tubuhnya, jantung berdegup kencang setelah dikejar bayangan yang bahkan tak bisa dia ingat dengan jelas.

Bayangan di Balik Kesuksesan

Rio duduk di ranjangnya, menatap tangan yang bergetar pelan. Dia baru saja terbangun dari mimpi yang sama.

Lagi-lagi… bayangan itu.

Kabur, acak, tidak jelas. Tapi perasaan di dalamnya begitu nyata. Ada kesedihan mendalam yang mencengkeram dadanya setiap kali dia terbangun. Ada suara kecil yang terasa begitu dekat…

"Ayah…”

Rio menarik napas panjang, menekan pelipisnya. Dia mencoba berpikir rasional. Tidak ada anak yang memanggilnya ‘ayah’.

Dia bahkan belum menikah, belum punya anak.

Tapi mengapa setiap kali dia bermimpi… suara itu terdengar begitu familiar?

Sherly yang Sempurna… dan Kekosongan dalam Hati

Saat pagi menyapu malam, Rio menemukan dirinya duduk di meja makan bersama Sherly. Wanita itu menuangkan kopi ke dalam cangkirnya, seperti biasa, dengan gerakan yang anggun dan terkalkulasi.

"Kamu kurang tidur lagi?" Sherly bertanya tanpa menoleh, nadanya tenang, tapi penuh perhatian.

Rio menatapnya, lalu mengangguk pelan. "Mimpi buruk."

Sherly akhirnya menatapnya, ekspresinya tidak berubah, tapi ada kilatan tipis di matanya. "Mimpi tentang apa?"

Rio membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Dia sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Mimpinya selalu kabur, hanya menyisakan perasaan kosong yang tidak bisa dia abaikan.

"Aku tidak ingat," katanya akhirnya.

Sherly menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Kalau begitu, lupakan saja. Itu cuma mimpi."

Rio ingin mengikuti saran itu. Tapi dia tahu lebih baik dari siapa pun—mimpi ini bukan sekadar mimpi.

Dan semakin dia mencoba mengabaikannya…

Semakin kuat perasaan kehilangan itu menelannya.

Bab 4: Pertemuan yang Tak Terduga

Rio bukan tipe pria yang hanya hidup untuk bekerja. Dia sadar betul bahwa dunia ini lebih luas dari sekadar angka dan target bisnis.

Meski kesuksesannya dibangun dengan kerja keras, dia selalu menyisihkan waktu untuk kegiatan sosial. Mungkin karena dia tahu bagaimana rasanya kehilangan, bagaimana rasanya berdiri di ujung jurang dan bertanya-tanya apakah hidup masih layak diperjuangkan.

Malam itu, Rio menghadiri sebuah acara amal yang diadakan oleh yayasan kesehatan anak-anak. Gedung megah dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan terasa kontras dengan tujuan acara ini: membantu mereka yang bahkan tidak bisa membeli satu botol obat sederhana.

Saat dia berdiri di dekat meja prasmanan, matanya menangkap sosok wanita di sudut ruangan.

Wanita itu berbeda.

Bukan karena gaunnya yang sederhana di antara lautan pakaian mahal, bukan juga karena sikapnya yang jelas lebih tertutup dibanding tamu lain. Tapi ada sesuatu di matanya—sebuah kelelahan yang dalam, tetapi juga keteguhan yang sulit dijelaskan.

Seakan dunia telah menghancurkannya berkali-kali, tetapi dia masih berdiri.

Saat mata mereka bertemu, sesuatu di dalam dada Rio bergetar.

Déjà vu.

Percakapan Tanpa Nama

Mereka tidak banyak berbicara malam itu. Hanya tatapan singkat, sebuah sapaan sopan, dan beberapa kata basa-basi.

Namun, saat Rio meninggalkan acara, pikirannya justru tertinggal bersama wanita itu.

Dan jauh di tempat lain, dalam sebuah ruangan kecil dengan cahaya lampu redup, seorang wanita mengangkat telepon dengan tangan gemetar.

Fany.

Di seberang sana, suara laki-laki misterius terdengar dingin, nyaris tanpa emosi.

"Ingat perjanjian kita. Biarkan mengalir seperti air. Jika kamu melanggarnya... akan ada konsekuensi."

Fany menggigit bibirnya, menekan dadanya yang terasa sesak.

"Aku tidak mengundangnya. Aku tidak menggodanya. Ini murni kebetulan." Suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

Hening sejenak.

Kemudian suara itu terdengar lagi, kali ini lebih tajam.

"Kau tahu tidak ada kebetulan dalam permainan ini."

Fany menutup matanya. Jari-jarinya mengepal. Dia tahu.

Dan dia juga tahu, semakin dekat Rio padanya…

Semakin besar bahaya yang mengintai.

Bab 4 (Lanjutan): Jejak yang Tidak Seharusnya Ada

Malam itu, Rio tidak bisa tidur.

Sosok wanita di acara amal tadi terus berputar di pikirannya, seakan ada sesuatu yang berbisik di sudut bawah sadar: Kau mengenalnya. Kau tahu dia.

Tapi dari mana?

Dia menggulir ponselnya, mencari daftar nama tamu acara tadi. Tidak ada yang terdengar familiar.

Namun, semakin dia mencoba mengabaikannya, semakin kuat perasaan itu mencengkeramnya.

Aku harus tahu.

---

Di Sudut Kota yang Sepi

Beberapa hari kemudian, Rio bertemu dengannya lagi—di tempat yang jauh dari gemerlap acara sosial, di sebuah gang sempit yang hampir tidak tersentuh cahaya kota.

Wanita itu sedang membawa kantong belanjaan sambil menggendong seorang anak kecil. Bocah itu tampak pucat, tubuhnya terlalu kecil untuk usianya.

Saat Rio melangkah mendekat, Fany—yang awalnya tidak menyadari kehadirannya—mendadak membeku.

Sekilas, matanya memancarkan keterkejutan, lalu ketakutan.

“Permisi...” Rio berdeham, mencoba bersikap biasa. “Kita pernah bertemu di acara amal.”

Fany mengangguk kaku, matanya waspada. “Iya. Maaf, saya sedang buru-buru.”

“Boleh aku bantu?”

“Tidak perlu,” jawabnya cepat.

Namun, saat itu juga, kantong belanjaannya robek, dan beberapa barang—termasuk sekotak obat—terjatuh ke tanah.

Rio refleks berjongkok, memungutnya. Matanya menangkap label obat itu—untuk penyakit yang cukup serius.

Dia melirik bocah di gendongan Fany.

“Dia sakit?”

Fany langsung menarik obat itu dari tangannya, lalu berbalik. “Terima kasih. Aku harus pergi.”

“Sebentar,” Rio menghentikan langkahnya. “Aku hanya ingin tahu, apakah kalian butuh bantuan?”

Fany terdiam, bahunya sedikit bergetar.

Lalu, tanpa menoleh, dia menjawab dengan suara yang terdengar hampa.

“Bantuan yang sebenarnya bukan sesuatu yang bisa kau berikan.”

---

Dunia yang Tidak Seharusnya Bertemu

Rio tidak mengejarnya.

Tapi ada sesuatu dalam cara wanita itu bicara, cara dia menggenggam anaknya seakan dunia bisa merenggutnya kapan saja, yang membuat Rio yakin—Fany bukan hanya seorang ibu biasa.

Dan entah kenapa, dia merasa, jika dia membiarkan wanita itu pergi begitu saja...

Dia akan menyesal seumur hidup.

---
Bab 5: Di Antara Dua Pilihan

Sebuah Panggilan yang Mengubah Segalanya

Malam itu, ponsel Fany bergetar di atas meja kayu tua di kontrakannya.

Tak ada nama di layar, hanya nomor asing.

Fany menatapnya dengan ekspresi kosong sebelum akhirnya menjawab.

“Saya menduga cepat atau lambat kau akan menghubungi saya,” ucapnya, suaranya datar namun ada ketegangan halus di sana.

Suara di seberang terdengar tenang, tapi tajam seperti pisau. “Kau seharusnya tetap di tempatmu.”

Sherly.

Fany tersenyum tipis, meski tidak ada yang bisa melihatnya. “Aku tidak pergi ke mana-mana. Bukan aku yang mendekatinya, dia yang menemukanku.”

“Dan kau tidak berusaha menghindarinya?”

“Tentu saja,” jawab Fany, masih dengan nada ringan. “Tapi ada batasan dalam menghindar. Apakah aku juga harus menghilang dari dunia ini?”

Ada jeda beberapa detik. Kemudian Sherly berbicara lagi, kali ini dengan suara lebih dingin.

“Anakmu belum sepenuhnya pulih sebelumnya, bukan? Kau tahu apa konsekuensi jika melanggar perjanjian.”

Fany mengepalkan jemarinya di sisi meja. Napasnya sedikit goyah, tapi dia tidak ingin terdengar lemah.

“Apa maksudmu?”

“Kau bisa menghilang sekarang juga. Aku bisa memberikan apa pun yang kau butuhkan. Rumah baru, identitas baru, uang yang cukup untuk membuatmu dan anakmu hidup nyaman di mana saja. Atau...”

Sherly sengaja membiarkan kalimatnya menggantung, memberi tekanan lebih dalam daripada ancaman yang diucapkan langsung.

Fany menutup matanya sejenak. Lelah.

“Ini tidak masuk dalam perjanjian,” katanya akhirnya. “Rio harus memilih, dan kami berhak untuk dipilih.”

Di seberang, terdengar suara tawa kecil yang tanpa emosi.

“Kau yakin ingin bermain adil, Fany?”

“Aku hanya ingin sesuatu yang seharusnya menjadi milikku.”

“Baik,” Sherly menghela napas pendek. “Kalau itu maumu...”

Lalu panggilan terputus.

Fany meletakkan ponselnya, menatap kosong ke arah jendela yang buram oleh embun malam.

Di ranjang kecil di sudut ruangan, anaknya tertidur pulas, napasnya tenang.

Fany melangkah mendekat, mengusap rambut halus bocah itu.

Dia tahu.

Waktunya telah habis.

Menghilang Tanpa Jejak

Pagi itu, saat Rio kembali ke kontrakan kecil itu dengan beberapa barang kebutuhan tambahan, tempat itu kosong.

Tidak ada suara langkah kaki kecil.

Tidak ada bayangan sosok yang kemarin berdiri di ambang pintu dengan mata waspada.

Rio mengetuk, menunggu.

Tidak ada jawaban.

Dia mencoba lagi, lalu akhirnya mendorong pintu yang tidak terkunci.

Di dalam, hanya ada sisa-sisa keberadaan yang hampir tidak berarti—sepotong selimut tertinggal di kursi, gelas kosong di meja, udara dingin yang terasa tidak wajar.

Tidak ada tanda ke mana mereka pergi.

Tidak ada catatan.

Seolah mereka tidak pernah ada.

Rio berdiri di tengah ruangan, perasaan aneh menjalar ke dadanya.

Seketika, sebuah pertanyaan menghantamnya:

Siapa yang telah membuat mereka pergi?

Dan...

Mengapa dia merasa seakan telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga?

Bab 6: Krisis

Menghilang Tanpa Jejak

Rio tak bisa mengabaikan perasaan kosong yang mengikutinya sejak Fany dan anaknya menghilang. Hari-hari berlalu, tapi dia masih kembali ke kontrakan itu, berharap ada petunjuk. Mungkin surat. Mungkin seseorang yang melihat ke mana mereka pergi.

Namun, tidak ada yang bisa memberinya jawaban.

Seperti bayangan, mereka lenyap begitu saja.

“Apa kau bisa mencari tahu tentang wanita itu?” tanya Rio pada Reno, tangan kirinya mengepal di meja.

Reno, tangan kanan Rio dalam bisnis, mengangguk ragu. “Akan kucoba. Tapi, jujur saja, bos. Sepertinya ada seseorang yang tidak ingin dia ditemukan.”

Rio mengernyit. Ada sesuatu yang tidak beres.

Dia tidak tahu bahwa di tempat lain, percakapan singkat terjadi di balik layar.

“Dia masih mencarinya.”

Seorang pria berbicara pelan di hadapan seorang wanita yang tengah menyeruput kopi dengan anggun.

Sherly meletakkan cangkirnya dengan tenang, lalu menatap pria itu dengan tatapan penuh arti.

“Baik. Kita beri dia kesibukan.”

---

Krisis yang Diciptakan

Tepat seminggu setelah itu, badai menghantam perusahaan Rio.

Saham anjlok.

Kontrak-kontrak penting dibatalkan.

Media mulai menyebarkan isu miring tentang perusahaannya.

Setiap keputusan yang sebelumnya terasa stabil, kini seperti pasir yang runtuh di tangannya.

Dalam ketidakpastian itu, ada satu hal yang tetap sama: Sherly selalu ada di sisinya.

Tunangan yang sempurna.

Selalu hadir, mendukungnya, memastikan dia makan saat stres menumpuk, membantunya menyusun strategi keluar dari krisis ini.

Rio tahu dia berhutang banyak pada Sherly.

Tapi di antara laporan bisnis dan panggilan darurat, satu hal tetap menghantuinya.

Wajah anak kecil itu.

Dan ibunya.

Fany.

Di sela-sela malam yang sibuk, dia masih teringat matanya. Cara Fany menatapnya dengan campuran harapan dan ketakutan.

Tapi kesibukan menghimpitnya.

Dan, tanpa sadar, dia mulai melupakan detail wajahnya.

Sherly tahu.

Dan dia memanfaatkannya.

Dengan cerdas.

Dengan halus.

Dengan cara yang membuat Rio perlahan mulai merasa bahwa mungkin, semua hanya kebetulan.

Mungkin, memang tidak seharusnya dia mencari wanita itu.

---

Sebuah Percakapan Rahasia

Di tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk bisnis dan permainan psikologis yang sedang berlangsung, seorang pria berusia lebih dari lima puluh tahun menatap gadis di hadapannya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Sherly,” katanya, suaranya rendah tapi berwibawa. “Aku hanya menyuruhmu untuk menjaga dan merawatnya sesuai rencana dan tujuan kita. Bukan malah terlibat perasaan dengannya.”

Sherly menunduk, tapi bukan dalam ketakutan—melainkan dalam konflik batin yang ia sendiri tak bisa pahami sepenuhnya.

“Maafkan aku, Ayah...” ujarnya pelan. “Perasaan ini datang sendiri... Aku akan mempertahankannya, dan membuktikan bahwa cinta itu bisa diraih.”

Sang pria—Profesor Ronald—menghela napas panjang. “Kamu paham konsekuensinya, Sherly.”

Sherly mengangguk. “Saya paham.”

Profesor Ronald menatapnya tajam. “Dan satu hal lagi... Jangan terlalu kejam pada Fany. Dia juga berhak dipilih.”

Mata Sherly sedikit menyipit, tapi dia tidak berkata apa-apa.

“Pastikan,” lanjut Profesor Ronald dengan suara pelan namun berbahaya, “apa yang kita usahakan selama lima tahun ini mencapai tujuannya... secara alami.”

Sherly terdiam.

Sangat lama.

Lalu, akhirnya, dia tersenyum kecil.

Senyum yang tidak bisa ditebak artinya.

Bab 7: Hari yang Dijanjikan

Langit siang itu berwarna putih pucat, seolah enggan bersaksi atas janji yang seharusnya terucap.

Di dalam ruangan yang dipenuhi tamu undangan, bunga-bunga putih menghiasi setiap sudut, menguar wangi lembut yang samar. Semuanya tampak sempurna—gaun Sherly yang memeluk tubuhnya dengan elegan, senyum para tamu, musik lembut yang mengalun dari sudut ruangan.

Tapi di dalam hati Rio, ada kehampaan yang tidak bisa dijelaskan.

Seseorang sedang menunggunya.

Bukan Sherly.

Bukan di tempat ini.

---

Perasaan yang Tidak Bisa Dibohongi

Rio berdiri di depan cermin, napasnya berat. Dasi di lehernya terasa lebih ketat dari biasanya, seakan mencekik sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tenggorokan.

Dia seharusnya bahagia.

Sherly adalah wanita yang luar biasa—cantik, cerdas, setia, dan selalu ada untuknya.

Tapi itulah masalahnya.

Rio tidak buta. Dia tahu Sherly mencintainya. Dia tahu Sherly telah mengorbankan banyak hal untuknya.

Dan seharusnya, itu cukup untuk membuatnya tetap di sini.

Tapi kenapa...

Kenapa di saat dia harus mengucap janji, wajah wanita lain yang muncul di pikirannya?

Dan suara kecil di kepalanya berbisik “Jangan lakukan ini.”

Dia menarik napas panjang.

Dia harus memilih.

Tidak ada yang bisa melakukannya untuknya.

Dengan tangan gemetar, Rio melepas dasinya.

---

Saat Kebenaran Terucap

Ketika Rio berjalan keluar dari ruangan tempatnya bersiap, para tamu mulai berbisik.

Sherly, yang sudah berdiri di pelaminan, tersenyum tipis ketika melihatnya mendekat.

Matanya berbinar penuh harapan.

Namun semakin dekat langkah Rio, semakin redup binar itu.

Dan ketika jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah, dia tahu.

Sebelum Rio mengatakan apa pun, Sherly sudah tahu.

Dia tidak akan tinggal.

Rio menelan ludah, suaranya nyaris tak terdengar. “Maafkan aku, Sherly...”

Sherly mengerjap, mencoba menahan gejolak yang menyeruak di dadanya. Tangannya gemetar, tapi dia berusaha tetap tenang.

"Jangan pergi," bisiknya.

Rio menggeleng pelan. “Aku tidak bisa, Sherly...”

Mata Sherly mulai memanas, tapi dia menolak menangis. Bukan di depan semua orang.

Bukan di depan Rio.

“Apakah dia lebih baik dariku?” tanyanya, suaranya pecah.

Rio menatapnya lama. “Ini bukan tentang siapa yang lebih baik.”

Sherly menggigit bibirnya, berusaha keras menahan isakan yang mengancam keluar. “Kalau begitu, kenapa?”

Rio tidak menjawab. Karena bagaimana mungkin dia menjelaskan sesuatu yang bahkan dia sendiri tak bisa pahami sepenuhnya?

Dia hanya tahu... Jika dia tetap di sini, dia akan menyesal seumur hidupnya.

Sherly meraih tangannya, menggenggamnya erat.

Mata mereka bertemu, dan dalam keheningan itu, Sherly melepaskan segala topeng yang selama ini ia pakai.

Untuk pertama kalinya, dia tidak lagi terlihat anggun dan sempurna.

Dia hanya seorang wanita yang hatinya dirobek di depan semua orang.

“Tolong... Jangan tinggalkan aku...”

Suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Rio menutup matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sangat pelan, dia melepaskan genggamannya dari tangan Sherly.

Kemudian dia pergi.

Meninggalkan semuanya.

Meninggalkan wanita yang mencintainya lebih dari siapa pun.

Dan di tengah ruangan yang penuh dengan bunga dan tamu yang masih terdiam, Sherly berdiri sendiri.

Masih dengan gaun putihnya yang sempurna.

Masih dengan riasan yang tak ternoda.

Tapi di dalam hatinya, segalanya telah runtuh.

Bab 8: Rumah dalam Mimpi

Dunia di luar jendela sudah gelap.

Cahaya bulan menerobos masuk melalui celah tirai yang berdebu, menerangi debu-debu yang melayang dalam keheningan. Rio duduk di lantai kayu yang dingin, punggungnya bersandar pada dinding yang terasa lebih sunyi dari biasanya.

Dia tidak tahu sudah berapa lama dia di sini.

Jam di tangannya menunjukkan waktu, tapi seakan-akan waktu itu sendiri tidak memiliki arti lagi.

Dia telah membatalkan pernikahannya.

Dia telah berjalan keluar dari kehidupan yang sempurna.

Dan sekarang, dia duduk di sebuah rumah kosong yang bahkan bukan miliknya.

Untuk apa?

Demi siapa?

---

Bayangan yang Menghantui

Rio menunduk, menatap tangannya yang kosong. Tangannya yang tadi menggenggam jemari Sherly, lalu perlahan melepaskannya.

Jangan tinggalkan aku…

Suara itu masih terngiang di kepalanya.

Dia telah menyakiti seseorang yang mencintainya.

Tapi... jika itu memang keputusan yang salah, kenapa dadanya tidak terasa lebih ringan? Kenapa langkahnya tidak terasa salah?

Kenapa, di balik semua ini, ada sesuatu yang terasa benar?

Tapi benar tentang apa?

Dia menekan pelipisnya, mencoba mengusir kekosongan di dalam pikirannya. Lalu, tanpa sadar, matanya menangkap sesuatu.

Sebuah kertas yang terlipat rapi, terselip di antara celah lantai kayu.

Diliputi rasa penasaran, Rio mengulurkan tangan dan menariknya keluar.

Ketika dia membukanya, jantungnya seakan berhenti berdetak.

Sebuah gambar anak-anak.

Coretan sederhana, garis-garis kasar. Seorang wanita dengan senyum lembut, seorang anak kecil dengan mata bulat, dan seorang pria yang berdiri di sebelahnya.

Di atas mereka, ada satu kata yang ditulis dengan tangan kecil yang gemetar:

Aku, Ibu, dan... Ayah.

Tangan Rio menegang, napasnya tersendat.

Dia merasakan sesuatu yang familiar dalam gambar itu.

Bukan hanya karena kesederhanaannya.

Bukan hanya karena gaya gambarnya yang khas anak-anak.

Tapi karena sesuatu di dalam dirinya berbisik bahwa dia pernah melihat ini sebelumnya.

Di mana?

Kapan?

Dan… siapa yang menggambarnya?

Rio menatap gambar itu lebih lama. Dadanya terasa berat, seakan ada sesuatu yang ingin keluar dari balik dinding ingatannya yang selama ini tertutup rapat.

Dingin merayap naik dari lantai kayu, menjalar ke tubuhnya, membuatnya menggigil.

Atau mungkin… itu bukan dingin dari lantai.

Mungkin itu sesuatu yang lain.

Sebuah rasa kehilangan yang selama ini dia lupakan.

Atau yang sengaja dilupakan.

Rio menggenggam gambar itu erat.

Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya tidak ada di sini.

Aku, Ibu, dan… Ayah.

Tiga kata sederhana.

Tapi entah kenapa, terasa seperti potongan dari sesuatu yang lebih besar.

Potongan dari sesuatu yang selama ini hilang.

Bab 9: Profesor Ronald

Rio masih terduduk diam di lantai kayu yang dingin, gambar anak-anak itu masih erat dalam genggamannya. Waktu seakan berhenti di dalam rumah kontrakan yang sunyi ini. Bayangan masa lalu yang tidak bisa ia ingat berputar di kepalanya seperti rekaman buram yang diputar tanpa suara.

Tiba-tiba, ketukan lembut terdengar dari pintu.

Satu… dua… tiga kali.

Rio menoleh. Hening.

Kemudian, pintunya terbuka perlahan, memperlihatkan sosok yang berdiri tegap di ambang pintu.

Seorang pria paruh baya dengan jas hitam rapi dan sorot mata tajam yang penuh wibawa.

Profesor Ronald.

Atau lebih tepatnya, Ayah Sherly.

Rio mengernyit, sedikit terkejut. Ia tidak menyangka calon mertuanya akan datang mencarinya sendiri.

Profesor Ronald berjalan masuk tanpa diundang, langkahnya terukur, seperti seseorang yang sudah sangat memahami situasi. Ia menatap Rio dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Kenapa kau ada di sini, Nak?” suara Profesor Ronald terdengar dalam dan tenang, tapi ada sesuatu di balik nada suaranya.

Rio menghela napas, lalu menatap lurus ke arahnya. “Aku ingin mencari jawaban.”

Profesor Ronald mengamati kontrakan itu dengan tatapan sejenak, lalu duduk di kursi kayu di dekat meja kecil. Seakan ia tidak terkejut sama sekali melihat Rio berada di tempat seperti ini.

“Jawaban?” ia mengulang kata itu, seakan mengejek. “Atau kau hanya mencari sesuatu yang hilang?”

Rio menggenggam gambar itu lebih erat. “Aku ingin tahu… siapa mereka.”

Profesor Ronald menatapnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Lalu, ia tersenyum tipis.

“Sebenarnya, aku sudah menunggumu sampai di titik ini.”

Rio menegang.

“Apa maksud Anda?”

Profesor Ronald menyesap napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada datar.

“Perjanjian kita sudah hampir selesai.”

Jantung Rio berdetak lebih cepat.

“Perjanjian?” dahinya berkerut.

Profesor Ronald bersandar ke belakang, tangannya terlipat rapi di atas pangkuan. Tatapannya menusuk.

“Aku di sini untuk memberimu pilihan terakhir.”

Rio menunggu, tubuhnya menegang.

“Kau bisa memilih kembali,” suara Profesor Ronald terdengar dalam, penuh arti. “Kembali ke kehidupan yang penuh kesuksesan dan kekayaan, bersama Sherly—wanita yang selama ini selalu berada di sisimu.”

Hening sejenak.

“Atau…” Profesor Ronald melanjutkan, “Kau bisa memilih untuk kembali ke masa lalu yang telah kau lupakan. Bersama seseorang yang mungkin masih mencintaimu, bersama kehidupan yang pernah menjadi milikmu.”

Mata Rio menyipit. “Tapi dengan harga…”

Profesor Ronald tersenyum tipis. “Ya. Harga yang sangat mahal.”

“Kehilangan segalanya?”

“Bukan hanya itu.” Profesor Ronald menatapnya dalam. “Jika kau memilih masa lalu, kau tidak hanya kehilangan kesuksesan dan kekayaanmu. Kau juga kehilangan nama, posisi, dan pengaruhmu.”

Rio terdiam.

“Keputusanmu akan mengubah segalanya,” lanjut Profesor Ronald. “Tidak ada jalan untuk kembali setelah ini.”

Rio menunduk, memandangi gambar anak-anak di tangannya. Hatinya berdegup keras.

Aku, Ibu, dan… Ayah.

Pilihan ini bukan tentang kehilangan harta atau status.

Ini tentang siapa dirinya sebenarnya.

Tanpa ragu, Rio mengangkat wajah dan menatap Profesor Ronald dengan tekad yang bulat.

“Aku memilih No. 2.”

Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan itu.

Profesor Ronald menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Seperti seseorang yang sudah tahu jawabannya sejak awal, tapi tetap ingin mendengarnya langsung.

Lalu, pria itu berdiri, mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sebuah suntikan kecil.

Rio tidak sempat bereaksi.

Sebuah sensasi tajam menusuk kulitnya.

Pandangan Rio mulai kabur.

Kepalanya terasa berat.

Dunia di sekelilingnya berputar, suaranya menghilang, dan sebelum semuanya menjadi gelap, ia mendengar suara terakhir dari Profesor Ronald.

“Pilihanmu telah ditentukan. Selamat datang kembali, Rio.”

Lalu, kegelapan mengambil alih.

Bab 10: Tersadar dari Mimpi Panjang

Kegelapan.

Dingin.

Sunyi.

Lalu, samar-samar, ada cahaya.

Rio merasa tubuhnya berat. Seperti seseorang yang baru bangun setelah tidur puluhan tahun, pikirannya masih berputar, suaranya masih tumpang-tindih dalam ingatan yang belum utuh.

Perlahan, dia membuka matanya. Cahaya putih menusuk retinanya, membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai jelas. Langit-langit ruangan serba putih. Aroma antiseptik. Mesin monitor detak jantung berbunyi pelan di sampingnya.

Rumah sakit?

Rio mencoba menggerakkan tangannya. Berat. Saat kesadarannya kembali, dia menyadari sesuatu. Ada seseorang yang duduk di sampingnya, memegang tangannya erat.

Seseorang yang wajahnya terasa sangat familiar.

Seorang wanita dengan mata yang terlihat lelah, namun penuh kehangatan. Napas Rio tertahan.

Fany.

Di sebelahnya, seorang anak kecil berusia sekitar lima tahun memandangnya dengan mata besar dan berbinar. Mata yang mengingatkan Rio pada seseorang. Pada dirinya sendiri.

Anak itu membuka mulutnya dengan ragu-ragu, lalu berkata pelan, “Ayah?”

Seperti air bah yang melanda tanpa bisa dibendung, ingatan itu menghantam Rio dalam sekejap.

Sakit yang dia rasakan bertahun-tahun.

Keputusan yang dia ambil.

Hari di mana dia harus memilih antara menjadi seorang suami dan ayah yang baik, atau memastikan anaknya tetap hidup.

---

Enam tahun yang lalu.

Fany menangis di pelukannya, wajahnya memucat saat dokter memberitahu bahwa anak mereka hanya punya sedikit waktu jika tidak segera mendapatkan transplantasi. Tapi prosedur itu tidak murah, dan mereka tidak punya cukup uang.

Rio mencoba segalanya—bekerja siang malam, mencari pinjaman, menjual apa pun yang mereka miliki. Tapi tetap saja, dunia tidak adil untuk orang-orang seperti mereka.

Lalu, seorang pria datang dengan tawaran.

Profesor Ronald.

"Aku akan membiayai operasi anakmu," katanya, "tapi ada syaratnya."

Syarat yang tidak bisa Rio tolak.

Dia harus menyerahkan segalanya—kenangannya, hidupnya, bahkan keluarganya.

Profesor Ronald menawarkan sebuah eksperimen: melihat apakah cinta sejati bisa tetap menemukan jalannya meski ingatan telah dihapus.

Jika suatu saat Rio kembali pada keluarganya, maka semua yang hilang akan dikembalikan.

Jika tidak… maka ia akan tetap menjadi sosok yang berbeda selamanya.

Rio menatap wajah putranya yang saat itu masih kecil dan lemah, nyaris tidak berdaya di ranjang rumah sakit.

Demi dia… aku rela kehilangan segalanya.

Dan begitulah, dia menjalani eksperimen. Menjalani kehidupan baru, lupa akan segalanya.

Hingga hari ini.

---

Air mata menggenang di mata Rio saat dia kembali ke masa kini. Pandangannya mengabur saat dia menatap wajah Fany dan anaknya.

Tubuhnya gemetar saat dia mengangkat tangannya yang masih lemah, menyentuh wajah Fany dengan perlahan.

“Fany…” suaranya serak, nyaris tidak terdengar.

Fany menahan isakannya, matanya berkaca-kaca. “Kau ingat?”

Rio mengangguk, menggenggam tangan istrinya dengan erat.

Lalu, dia berbalik ke anaknya. Bocah kecil itu menatapnya dengan penuh harap, seakan menunggu sesuatu yang sudah lama dia impikan.

Rio menelan ludah, lalu tersenyum lembut. “Ya, Nak… Aku ayahmu.”

Dalam sekejap, anak itu melompat ke arahnya, memeluknya erat. Tubuh mungil itu terasa begitu hangat di dadanya.

Rio membenamkan wajahnya ke rambut anaknya, air matanya jatuh tanpa bisa dia tahan.

Dia kembali.

Dia telah menemukan keluarganya lagi.

Dan kali ini, dia tidak akan kehilangannya.

---

Sementara itu, di ruangan lain, seorang wanita berdiri diam di balik kaca satu arah, menyaksikan adegan itu dengan mata kosong.

Sherly.

Tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini.

Sedih?

Marah?

Kalah?

Atau… lega?

Dia tidak menyesal telah mencintai Rio. Tidak menyesal telah berjuang untuknya.

Namun, melihat Rio kembali kepada keluarganya, melihat cara dia menatap Fany dan anaknya dengan penuh cinta dan air mata—Sherly menyadari sesuatu.

Sejak awal, dia tidak pernah punya kesempatan.

Cinta tidak bisa dipaksakan.

Sherly mengepalkan tangannya, berusaha menahan gemetar di tubuhnya. Dia ingin menangis, ingin berteriak, ingin marah. Tapi dia hanya berdiri di sana, menatap tanpa suara.

Di sebelahnya, Profesor Ronald berdiri dengan ekspresi tenang.

Sherly menghembuskan napas panjang, lalu menoleh pada ayahnya. “Jadi, ini akhirnya?”

Profesor Ronald tidak langsung menjawab. Ia menatap pemandangan di ruangan seberang dengan ekspresi penuh makna.

“Ini adalah hasil yang seharusnya.”

Sherly tertawa kecil, getir. “Seharusnya?”

Profesor Ronald menatap putrinya. “Aku tahu kau mencintainya. Tapi kau juga tahu, perasaan tidak bisa dipaksakan.”

Sherly terdiam, lalu menatap ke bawah. Ada perasaan sakit yang menusuk dadanya, tetapi dia tahu…

Dia tidak bisa menyalahkan siapa pun.

Ini adalah pilihannya.

Ini adalah konsekuensinya.

Dan meskipun Rio tidak memilihnya, dia tetap tidak menyesal telah mencintainya.

Epilog: Eksperimen yang Selesai

Ruangan itu sunyi, hanya suara mesin medis yang berbunyi pelan. Rio masih menggenggam tangan Fany dan anaknya, seolah takut jika dia melepaskan, mereka akan menghilang lagi.

Di seberang mereka, Profesor Ronald berdiri dengan sikap tenang, tatapannya tajam namun tidak mengancam.

“Aku harus berterima kasih,” katanya, suaranya rendah namun penuh makna. “Eksperimen ini telah mencapai tujuannya. Semua perilaku, tindakan, kondisi psikologis, dan keputusanmu telah terdokumentasi dengan baik. Semoga ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.”

Rio mengerutkan kening, masih merasakan sisa-sisa kebingungan dalam dirinya. Namun, sekarang dia tahu pasti satu hal: dia telah menemukan kembali apa yang seharusnya tidak pernah dia lupakan.

Profesor Ronald melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, “Anak kalian sudah melewati masa kritis. Dia masih dalam tahap pemulihan, dan kami akan memastikan dia mendapat perawatan terbaik.”

Fany menahan napas, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih…” suaranya nyaris tak terdengar.

Profesor Ronald hanya mengangguk, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam jasnya. Sebuah kartu debit hitam, sederhana namun mencolok.

Dia menyerahkannya kepada Rio. “Ini adalah hasil kerja kerasmu selama lima tahun terakhir di perusahaan. Gunakan sebaik mungkin. Kau sudah paham jalannya.”

Rio mengambil kartu itu dengan tatapan penuh makna. Bukan hanya sekadar selembar plastik bernilai, tetapi juga simbol dari apa yang telah dia lalui.

Hidup baru, kesempatan kedua.

Dia menatap Fany dan anaknya, lalu menggenggam tangan mereka lebih erat. “Kita akan memulai lagi. Dari awal.”

Fany tersenyum, air matanya mengalir. “Bersama.”

---

Di bandara…

Sherly berjalan anggun melewati koridor panjang yang dipenuhi orang-orang yang sibuk dengan tujuan mereka masing-masing.

Tapi langkahnya tetap mantap, tidak terburu-buru, tidak ragu.

Dia sudah mengambil keputusan.

Saat tiba di pintu keberangkatan, dia berhenti sejenak. Menoleh ke belakang sekali saja, melihat dunia yang baru saja dia tinggalkan.

Rio.

Wajahnya tidak terlihat, tapi dia tahu… laki-laki itu kini telah kembali ke tempat yang seharusnya.

Sherly menghembuskan napas panjang, lalu tersenyum kecil. Tidak ada air mata, tidak ada penyesalan.

Hanya sebuah janji yang dia bisikkan pada dirinya sendiri.

“Rio… aku akan kembali.”

Lalu, tanpa menoleh lagi, dia melangkah pergi.

***
END?
***

Side Story: Fany – Kesetiaan yang Terabaikan

Hujan turun malam itu, deras dan dingin. Fany menarik jaket lusuhnya lebih erat, menyelimuti tubuh kecil yang sedang tertidur di pangkuannya. Nafas anaknya terdengar berat, sesekali batuk kecil menggetarkan dadanya yang ringkih.

“Kita harus bertahan, Nak… Mama janji.”

Matanya menatap jendela kontrakan yang berembun. Di seberang sana, gedung megah perusahaan itu berdiri kokoh, lampunya berkilauan. Di dalam sana, Rio—suaminya—bekerja tanpa tahu bahwa di bawah langit yang sama, istri dan anaknya menatapnya dari jauh.

Fany tidak pernah benar-benar pergi. Dia hanya tersembunyi.

---

1. Perempuan yang Selalu Menunggu

Setiap pagi, sebelum menjalani pekerjaannya yang serabutan—kadang sebagai asisten rumah tangga, kadang pelayan di kafe kecil, kadang menjahit pakaian orang—Fany selalu menyempatkan diri untuk melihat Rio.

Tidak dekat. Tidak di tempat yang bisa membuatnya dikenali.

Hanya di sudut-sudut kota yang tidak menarik perhatian. Dari halte yang berjarak beberapa blok, dari kafe kecil tempat Rio sering mampir untuk membeli kopi, dari bayangan gedung tinggi saat dia masuk ke mobilnya.

Hanya sekilas, hanya sebentar. Tapi cukup.

Cukup untuk memastikan bahwa Rio masih baik-baik saja.

Cukup untuk meredakan rindunya… meski hanya sejenak.

---

2. Pengusiran yang Tidak Masuk Akal

Namun, entah mengapa, selalu ada sesuatu—atau seseorang—yang memaksanya menjauh.

Tiap kali dia mulai menemukan tempat yang cukup aman untuk sekadar melihat Rio, tiba-tiba dia diusir.

Pemilik kontrakan tiba-tiba meminta dia pergi tanpa alasan yang jelas.
Pekerjaan yang baru didapatnya tiba-tiba dibatalkan tanpa penjelasan.
Orang-orang yang awalnya baik padanya tiba-tiba berubah dingin dan menutup pintu.

Seolah ada kekuatan tak terlihat yang ingin membuangnya lebih jauh dari Rio.

Fany tidak pernah tahu siapa yang ada di balik itu semua. Tapi dia bisa menebak.

Sherly.

Wanita itu selalu tahu di mana dia berada. Selalu lebih dulu bertindak sebelum Fany bisa melakukan apa pun.

"Aku bisa memberikan apa pun yang kau mau." Begitu katanya dalam sebuah telepon singkat.

Tapi Fany tidak ingin apa pun selain haknya.

Hak untuk tetap mencintai. Hak untuk tidak dilupakan. Hak untuk tetap berharap.

---

3. Harapan yang Tak Pernah Padam

Malam-malam panjang yang dingin, saat anaknya demam dan dia sendiri kelelahan, Fany sering bertanya-tanya…

Apakah aku bodoh karena tetap setia?
Apakah dia benar-benar akan kembali?

Tapi tiap kali pertanyaan itu muncul, dia hanya perlu melihat mata anaknya.

Anak yang wajahnya mirip dengan Rio.

Anak yang tertidur dengan tenang di sampingnya, seolah percaya bahwa esok akan lebih baik.

Dan di sanalah harapannya tetap hidup.

Dia tidak akan menyerah.

Dia tidak akan berhenti percaya.

Bahwa suatu hari, Rio akan menemukan jalannya pulang.

***

Side Story: Sherly – Cinta yang Tak Pernah Direncanakan

Sherly tidak pernah menyangka hidupnya akan serumit ini.

Seumur hidup, dia terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Seorang putri dari seorang jenius gila, tumbuh di lingkungan yang sempurna, dengan kecantikan dan kecerdasan yang sering membuatnya dielu-elukan.

Tapi entah kenapa… justru dia kalah di sini.

Bukan karena dia kurang cantik.
Bukan karena dia kurang pintar.
Bukan karena dia kurang berusaha.

Tapi karena dia jatuh cinta.

Dan cinta, ternyata… bukan sesuatu yang bisa dimanipulasi.

---

1. Awal yang Seharusnya Biasa Saja

Saat ayahnya pertama kali mengenalkan subjek percobaan terbaru, Sherly tidak terlalu peduli.

Baginya, ini hanya eksperimen lain—sesuatu yang akan berlalu begitu saja.

Dia hanya harus memastikan semuanya berjalan lancar. Dia hanya harus mengawasi pria itu.

Rio.

Seorang pria keras kepala, ambisius, penuh tekad.

Seorang pria yang seharusnya hanyalah alat bagi ayahnya.

Tapi lama-lama, kenapa dia yang jadi alat bagi perasaannya sendiri?

---

2. Manja, Keras Kepala, dan Jatuh Cinta

Sherly selalu terbiasa hidup dalam kenyamanan. Tapi sejak Rio masuk dalam hidupnya, semuanya berubah.

Dia mulai terbiasa menunggu.
Menunggu Rio kembali dari kerja.
Menunggu Rio selesai mengeluh.
Menunggu Rio menyadari perasaannya.

Dia mulai terbiasa mencari perhatian.
Mengirimkan kopi ke kantornya dengan notes konyol.
Muncul tiba-tiba di tempat Rio berada, pura-pura "kebetulan lewat."
Mengajak Rio ke acara yang dia tahu Rio tidak suka, hanya untuk melihat ekspresi sebalnya.

Dia mulai terbiasa peduli.
Mengkhawatirkan makanan favorit Rio.
Memastikan Rio tidak bekerja terlalu keras.
Mendengar semua keluh kesahnya, bahkan tentang wanita lain.

Dulu, dia hanya seorang putri kecil ayahnya.
Sekarang… dia adalah wanita yang sedang jatuh cinta.

---

3. Cinta yang Tak Bisa Dimenangkan

Semakin hari, Sherly semakin tahu bahwa Rio bukan untuknya.

Dia bisa merasakannya di setiap senyum yang Rio berikan—senyum yang bukan untuknya.

Dia bisa melihatnya di setiap tatapan kosong Rio—tatapan yang mencari seseorang yang bukan dia.

Dia bisa mendengarnya di setiap keluhan Rio—keluhan yang tidak seharusnya dia dengar.

Tapi dia tetap bertahan.

Karena Sherly tidak pernah menyerah.

Bahkan saat dia tahu dia akan kalah.

---

4. Hari Itu

Hari pernikahan. Hari yang seharusnya menjadi kemenangan terakhirnya.

Tapi yang dia dapatkan hanyalah punggung pria yang pergi meninggalkannya.

"Maafkan aku, Sherly…"

Suara Rio lirih, penuh penyesalan. Tapi Sherly tidak mau mendengar penyesalan.

Dia mau cinta.
Dia mau Rio memilihnya.
Dia mau Rio melihatnya seperti dia melihat wanita itu.

Tapi Rio tidak pernah melihatnya dengan cara yang dia inginkan.

"Rio… jangan pergi. Tolong… jangan tinggalkan aku…"

Tangannya terulur, tapi Rio tidak menoleh.

---

5. Aku Tidak Menyesal

Di bandara, Sherly duduk dengan koper di sampingnya. Rambut panjangnya berantakan, tanpa makeup, tanpa senyum anggun yang biasa.

Dia melihat keluar jendela, menatap dunia yang terasa kosong tanpanya.

Tanpa pria yang dia cintai.

Tapi… dia tidak menyesal.

Karena cinta ini nyata.
Karena cinta ini tulus.
Karena cinta ini tidak pernah direncanakan—dan justru itu yang membuatnya indah.

Suatu saat, Rio akan kembali padaku.

Sherly tersenyum kecil, menutup matanya.

Meski hanya dalam mimpi, dia tetap ingin percaya.

***
Side Story: Profesor Ronald – Ilmuwan Gila, Konglomerat Nyentrik, dan Cleaning Service Misterius

Profesor Ronald bukan ilmuwan biasa.

Dia bukan sekadar profesor yang terpampang di jurnal akademik. Bukan sekadar konglomerat yang mengendalikan bisnis di balik layar.

Dia adalah seniman eksperimen manusia.

Dan kali ini, eksperimennya bukan sekadar menciptakan obat, teknologi, atau teori sains baru. Kali ini, dia ingin menjawab pertanyaan tertua umat manusia:

"Apakah cinta sejati benar-benar ada?"

---

1. Sang Profesor Nyentrik

Profesor Ronald terkenal di dunia ilmiah sebagai jenius gila.

Dia memiliki gelar Ph.D. dalam Neuropsikologi, Bioteknologi, dan Ilmu Sosial—tapi alih-alih bekerja di laboratorium steril, dia lebih sering ditemukan di tempat-tempat yang tidak masuk akal:

Menyamar jadi cleaning service di perusahaannya sendiri.

Menjadi tukang parkir di seminar yang dia sponsori.

Menjual es krim di depan laboratorium hanya untuk mengamati pola konsumsi mahasiswa.

Baginya, penelitian sejati bukan dilakukan di laboratorium, tapi di kehidupan nyata.

Dan Rio… adalah subjek eksperimen terbaiknya.

---

2. Kenapa Rio?

Rio bukan siapa-siapa.
Hanya pria biasa yang berjuang membangun bisnisnya dari nol.

Tapi di balik itu, Rio memiliki dua hal yang sangat langka dalam penelitian Profesor Ronald:

1. Cinta yang ekstrem.

Saat anaknya sekarat, dia rela mengorbankan segalanya—termasuk dirinya sendiri.

Dia menandatangani kontrak untuk melupakan istrinya sendiri demi satu tujuan: menyelamatkan anak mereka.

2. Kecerdasan dan ambisi.

Tidak seperti subjek lain yang mudah terombang-ambing, Rio bisa bertahan.

Tanpa ingatan, tanpa identitas, dia tetap menjadi orang sukses.


Bagi Profesor Ronald, Rio adalah bukti bahwa cinta sejati bisa diuji secara ilmiah.

---

3. Metode Eksperimen – Menghapus Cinta, Menciptakan Takdir

Eksperimen ini sederhana dalam konsep, tetapi sangat kompleks dalam eksekusi.

Langkah 1: Penghapusan Identitas

Rio diberi serangkaian neurostimulasi dan hipnoterapi untuk menghapus ingatan tentang Fany dan anak mereka.

Data masa lalunya dimanipulasi dengan dokumen baru, kontak sosial baru, dan lingkungan yang dikontrol.

Langkah 2: Simulasi Kehidupan Baru

Rio dijatuhkan ke dunia baru dengan skenario terstruktur.

Bisnisnya dibantu berkembang, tetapi tidak diberikan secara cuma-cuma—Rio tetap harus bekerja keras agar hasilnya tetap valid.

Dimasukkan ke dalam lingkungan yang memungkinkan hubungan baru berkembang, termasuk pertunangannya dengan Sherly.

Langkah 3: Pengaruh Tak Kasat Mata

Fany tidak sepenuhnya dihilangkan. Dia dipantau dari kejauhan, dengan kesempatan kecil untuk bertemu Rio secara "tidak sengaja."

Sherly, sebagai variabel utama, diberi kebebasan untuk memenangkan hati Rio secara alami.

Tujuan utamanya?

"Apakah cinta sejati akan bertahan meskipun ingatan dihapus dan hidup diulang dari awal?"

---

4. Kesimpulan – Cinta Sejati Bukan Sekadar Ingatan

Hasil eksperimen ini mengejutkan.

Hipotesis awal: Jika cinta sejati hanyalah hasil dari kebiasaan dan pengalaman bersama, maka Rio seharusnya bisa jatuh cinta dengan Sherly, karena dialah satu-satunya wanita dalam hidup barunya.

Tapi yang terjadi?

Rio tetap tertarik pada Fany meskipun tidak mengingatnya.

Déjà vu terus menghantuinya.

Ketertarikannya pada Fany tumbuh tanpa alasan logis.

Rasanya berbeda. Sherly adalah wanita yang sempurna di atas kertas, tapi Fany… adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh sains.

Pada akhirnya, Rio kembali ke Fany.

Bukan karena ingatan, bukan karena paksaan, tapi karena hatinya sendiri yang memilih.

Profesor Ronald hanya tersenyum saat melihat hasilnya.

"Cinta sejati itu nyata, rupanya."

---

5. Epilog – Sang Ilmuwan Gila Melanjutkan Eksperimennya

Di ruangannya yang berantakan, Profesor Ronald mencatat hasil akhirnya.

Kesimpulan:

> "Cinta sejati tidak sepenuhnya tergantung pada ingatan atau pengalaman. Ada faktor yang lebih dalam—sesuatu yang tidak bisa dihapus atau diubah, bahkan oleh manipulasi neuropsikologi tingkat tinggi."

Lalu, apakah eksperimennya selesai?

Tidak.

Dia sudah punya subjek baru.
Kasus baru.
Eksperimen baru.

Dan kali ini, mungkin dia sendiri yang akan menjadi subjeknya.

Profesor Ronald hanya terkekeh pelan, menghapus coretan di papan tulisnya, dan menyamar lagi sebagai cleaning service.

Baginya, dunia adalah laboratorium, dan manusia adalah eksperimen yang tak pernah berakhir.

***
END

***

DISCLAIMER HAK CIPTA

Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.

Dilarang keras untuk:

1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.

2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.

3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.

Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.

***